CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

PENDIDIKAN DAN KITA

PENDIDIKAN SEBAGAI TANGGUNG JAWAB BERSAMA

Dalam hal pendidikan, menurut berbagai hasil penelitian mutakhir, kita di Indonesia selalu menempati urutan terbawah. Bahkan lebih di bawah dari Vietnam, yang boleh dikatakan baru tahun 80-an memperoleh stabilitas keamanannya setelah berkian tahun berkutat dalam perang saudara habis-habisan dengan mlibatkan secara langsung Amerika Serikat di dalamnya. Ini sebetulnya sebuah ironi, sebab pada awal tahun 70-an, Malaysia—yang saat itu sudah jauh lebih maju dari Vietnam—bahkan masih belajar dari kita. Negeri jiran itu mengundang sangat banyak guru dari Indonesia untuk mengajari mereka. Tetapi sekarang kitalah yang harus belajar kepada mereka.

Itu artinya, di jajaran negara-negara Asia Tenggara, kita di Indonesia terbilang terdahulu dalam menggiatkan dan menggairahkan dunia pendidikan. Pertanyaan mendasarnya kemudian ialah, tetapi kenapa malah kita sekarang yang berada di posisi paling terpuruk dalam hal kualitas pendidikan. Jawabannya pasti bukan soal ekonomi sebab kita pernah mengalami paling tidak tiga hal spektakuler dalam bidang ekonomi. Pertama, kita pernah mengalami oil booming di tahun 70-an, yang hasilnya masih bisa kita rasakan sampai sekarang. Kedua, selama masa Orde Baru pertumbuhan ekonomi kita bertengger rata-rata di kisaran 7 (tujuh) persen per tahun. Angka sebesar itu tentunya punya makna ekonomi yang luar biasa. Ketiga, selama hampir setengah abad komitmen negara-negara donor untuk membantu kita—melalui kerja sama mulitilateral dan unilateral—untuk mendanai pembangunan kita, tidak perlu dipertanyakan. Akumulasi utang luar negeri kita, karenanya, bahkan melampai angka 1000 (seribu) triliun rupiah. Suatu jumlah yang sangat fantastis.

Lalu dimanakah relevansi ketiga poin itu di bidang pendidikan? Hampir tidak ada! Gaji guru sangat memprihatinkan. Kondisi fisik sekolah-sekolah pemerintah amat menyedihkan. Perpustakaan dan laboratorium yang memadai susah ditemukan. Untuk bertahan dalam kondisi yang serba sulit seperti itu, para pekerja pendidikan terpaksa mengkomersialisasikan semua atribut yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Biaya tinggi di bidang pendidikan menjadi tidak terelakkan. Drop out dari sekolah-sekolah membengkak. Ujung-ujungnya, sumberdaya manusia kita rata-rata berkualitas pembantu rumah tangga. Dan akibat selanjutnya (semacam lingkaran setan), yakni kian banyaknya anak-anak usia sekolah yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah, entah karena tidak terakomodasi atau karena tidak sanggup membayar semuanya atau karena tidak mampu lagi mengikuti irama pendidikan yang sangat berliku tersebut.

Kalau masalahnya bukan pada faktor ekonomi, maka hampir bisa dipastikan keterpurukan kita di bidang pendidikan adalah dikarenakan oleh yang satu ini: minimnya perhatian pemerintah dan masyarakat pada bidang pendidikan. Dan kalau kondisi ini kita biarkan terus dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi dengan bangsa ini 20 tahun ke depan.

(Catatan: tidak ada suatu negara, bangsa dan peradaban—termasuk yang sudah tiada—yang bangkit dan menjadi besar bukan karena pendidikan. Ekonomi penting, tetapi sejarah mengajarkan kita bahwa pendidikanlah yang menjadi pondasi semuanya).

SEKOLAH GRATIS BERBASIS IT
Atas dasar pemikiran itulah sehingga kami dari Yayasan “GURU Institute” mencoba peduli, mengambil “sedikit” peran sesuai kesanggupan kami. Dan yang “sedikit” itu pun tergantung kepada dukungan masyarakat (Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara-saudari, dan teman-teman) yang konsen dengan masalah ini.

GURU adalah singkatan dari Guide for hUman Resource Upgrading. Maka peran utama yang kami pilih untuk kami mainkan adalah meng-upgrade sumberdaya manusia anak-anak bangsa yang luar biasa potensialnya melalui pendirian dan pengelolaan sekolah-sekolah gratis berbasis IT (Information Teknology) bagi anak-anak yang benar-benar tidak mampu, baik karena kemiskinan atau karena keyatiman. Harapan kami, anak-anak didik yang belajar di sekolah tersebut sedini mungkin memiliki kesadaran teknologi informasi—yang menyebabkan dunia beserta negara-negara berikut person-person yang ada di dalamnya tidak berbatas satu sama lain—sehingga yang bersangkutan kelak menjadi genarasi bangsa yang pluralistik, egaliter, visioner dan futuristik. Tentu saja dengan tetap meperhatikan kebutuhan psikologis dan sosiologis peserta didik.

IT di sini bukan dimaksudkan sebagai semacam kekhususan atau spesialisasi. Melainkan sebagai basis bagi seluruh mata pelajaran yang diajarkan. Agar terjadi proses penanaman kesadaran bahwa teknologi informasi telah menjadi ralitas kehidupan manusia; dan bahwa IT telah mengintegrasikan seluruh aktivitas keseharian manusia, mulai dari kantor perusahaan, ruang praktek dokter, sampai ke dapur ibu-ibu. Dan dengan begitu, mereka nantinya tidak merasa gamang—bahkan sebaliknya sangat akrab—dengan perkembangan teknologi informasi beserta kandungan informasi yang menyertainya, yang terjadi secara revolusioner.

Untuk menggapai harapan dan idelisme itu setidaknya ada 5 (lima) komponen utama yang menjadi pendukung utama:

1. Manajemen sekolah yang profesional

2. Sistem pendidikan yang baik

3. Guru yang berkualitas

4. Perpustakaan yang memadai

5. Laboratorium komputer yang representatif

Sebagai langkah awal, kami akan membuka tingkat SD (Sekolah Dasar) di sekitar tempat-tempat yang kami anggap mines secara ekonomi. Dengan asumsi, tempat-tempat tersebut sekaligus kelak menjadi wilayah comunity development (desa binaan) bagi yayasan GURU Institute. Dengan demikian ada tiga target yang bisa tercapai sekaligus: 1) mendidi anak-anak mereka; 2) membina masyarakat sekitar; dan tentu secara otomatis 3) mengeliminasi tindak kriminalitas yang umumnya bersumber dari tempat-tempat seperti itu.

PEMBIAYAAN

Apakah gagasan seperti itu tidak terlalu muluk? Terutama jika ditilik dari sisi pembiayaan? Muluk atau tidaknya sebuah gagasan sangat tergantung pada ada atau tidaknya driving force (tenaga pendorong) berupa: semangan yang berkobar dan konsisten; dan partisipasi banyak pihak terutama peran serta masyarakat. Tengoklah ke sekitar kita; terlalu banyak hasil temuan ilmu pengetahuan yang sudah begitu akrab dengan kehidupan keseharian kita yang sebelumnya dianggak tidak mungkin bahkan—oleh orang awam—dianggap mustahil. Dan itu semua bisa terwujud berkat semangat yang berkobar dan konsisten dari para penemunya.

Sekolah gratis, kami kira, jauh lebih sederhana ketimbang temuan-temuan ilmu pengetahuan tersebut. Intinya adalah perhatian masyarakat pada pendidikan dan keinginin yang kuat untuk mencari solusi kongkrit atas problem sosial yang sedang kita hadapai bersama. Sebagai warga bangsa dan atau umat beragama, perhatian seperti itu tidak selayaknya dipertanyakan.

Ambil contoh. Kalau ada 1000 (seribu) saja orang yang mengeluarkan hartanya sebesar Rp 500.000,00 per tahun atau Rp 45.000,00 per bulan untuk kepentingan edukasi masyarakat ini maka secara otomatis setiap tahun terkumpul dana sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dana pendidikan. Sebuah jumlah yang cukup signifikan untuk pengelolaan sekolah dasar. Bagi umat beragama (dalam contoh ini Islam), kalau jumlah itu kurang dari atau sama dengan 2,5 (dua koma lima) persen dari nilai pendapatan pertahaunnya, maka uang itu memang merupakan milik mereka yang nasibnya kebetulan kurang beruntung alias fakir miskin. Sehingga yang kita keluarkan bukanlah milik kita tetapi memang milik orang lain yang kebetulan ikut serta dalam harta kita.

Semakin banyak pihak yang terlibat semakin besar nilai tersebut. Dan semakin banyak pula sekolah gratis yang bisa terbangun.

Berdasarkan teori ketatanegaraan, yang paling bertanggungjawab mengatasi soal ini adalah pemerintah. Alasannya, selain telah menjadi amanat konstitusi, juga menjadi bagian dari kontrak sosial antara takyat dan para pemimpin negaranya di setiap pelaksanaan pemilu. Salah satu harapan terbesar masyarakat saat berbondong-bondong mendatangi tempat-tempat pemungutan suara adalah soal pendidikan ini; yaitu agar anak-anak mereka bisa mendapatkan pendidikan yang memadai.

Sayangnya, harapan ini masih jauh panggang dari api dengan dua alasan pokok. Pertama, perhatian pemerintah selama ini terhadap bidang pendidikan terbilang masih sangat rendah. Kedua, seandainya pun perhatian pemerintah cukup signifikan, niscaya soal keuangan negara akan menjadi kendala yang tak mudah diatasi mengingat keadaan ekonomi negara yang masih terpuruk.

Maka, kelihatannya, tidak ada jalan lain kecuali kitalah warga masyarakat dan umat yang harus ikut ambil bagian dalam memikul beban sosial ini. Sebagai umat beragama hal ini pasti tidak sulit kita fahami dengan dua alasan. Pertama, setiap amal sosial yang kita lakukan dengan sendirinya akan menjadi terapi psikologis, obat penyembuh penyakit-penyakit hati. Kedua, setiap amal yang kita lakukan akan menjadi bekal kehidupan kita di alam sana, alam akhirat.

Dengan begitu, tidak ada satu pun dan sekecil apapun amal yang kita lakukan yang sia-sia belaka.



JENIS DONASI

Yayasan menerima semua bentuk bantuan seumpama zakat, infak, sedekah, hibah, dan jenis sumbangan lainnya—perorangan atau lembaga—selama sifatnya tidak mengikat dan tidak menyebabkan Yayasan berafiliasi.

“GURU Institute” adalah yayasan yang terbuka, nonsektarian dan nonpartisan.



AKUNTABILITAS

Sebagai pertanggungjawaban Yayasan “GURU Institute” terhadap sekecil apapun peran serta masyarakat yang terlibat di dalamnya, maka Yayasan paling tidak akan melakukan dua hal: Pertama, membuat laporan cash-flow yang akan dimuat dalam Buletin Dwimingguan yang diterbitkan Yayasan yang diedarkan secara cuma-cuma di tempat-tempat umum (misal di masjid-masjid) dan dikirim ke para partisipan yang berkeinginan untuk itu dengan menyertakan alamat lengkapnya.

Kedua, mengaudit aktifitas keuangan Yayasan oleh Akuntan Publik secara berkala, atau sesuai kebutuhan, atau sesuai permintaan pihak-pihak yang berkepentingan.

Untuk menerapkan asas pengelolaan Yayasan yang bersifat transparan dan terbuka secara optimal, maka Yayasan akan sangat berterima kasih dan berlapang dada jika ada pihak-pihak yang kapabel untuk memberikan masukan.

PENDIDIKAN SEBAGAI TANGGUNG JAWAB BERSAMA

Dalam hal pendidikan, menurut berbagai hasil penelitian mutakhir, kita di Indonesia selalu menempati urutan terbawah. Bahkan lebih di bawah dari Vietnam, yang boleh dikatakan baru tahun 80-an memperoleh stabilitas keamanannya setelah berkian tahun berkutat dalam perang saudara habis-habisan dengan mlibatkan secara langsung Amerika Serikat di dalamnya. Ini sebetulnya sebuah ironi, sebab pada awal tahun 70-an, Malaysia—yang saat itu sudah jauh lebih maju dari Vietnam—bahkan masih belajar dari kita. Negeri jiran itu mengundang sangat banyak guru dari Indonesia untuk mengajari mereka. Tetapi sekarang kitalah yang harus belajar kepada mereka.

Itu artinya, di jajaran negara-negara Asia Tenggara, kita di Indonesia terbilang terdahulu dalam menggiatkan dan menggairahkan dunia pendidikan. Pertanyaan mendasarnya kemudian ialah, tetapi kenapa malah kita sekarang yang berada di posisi paling terpuruk dalam hal kualitas pendidikan. Jawabannya pasti bukan soal ekonomi sebab kita pernah mengalami paling tidak tiga hal spektakuler dalam bidang ekonomi. Pertama, kita pernah mengalami oil booming di tahun 70-an, yang hasilnya masih bisa kita rasakan sampai sekarang. Kedua, selama masa Orde Baru pertumbuhan ekonomi kita bertengger rata-rata di kisaran 7 (tujuh) persen per tahun. Angka sebesar itu tentunya punya makna ekonomi yang luar biasa. Ketiga, selama hampir setengah abad komitmen negara-negara donor untuk membantu kita—melalui kerja sama mulitilateral dan unilateral—untuk mendanai pembangunan kita, tidak perlu dipertanyakan. Akumulasi utang luar negeri kita, karenanya, bahkan melampai angka 1000 (seribu) triliun rupiah. Suatu jumlah yang sangat fantastis.

Lalu dimanakah relevansi ketiga poin itu di bidang pendidikan? Hampir tidak ada! Gaji guru sangat memprihatinkan. Kondisi fisik sekolah-sekolah pemerintah amat menyedihkan. Perpustakaan dan laboratorium yang memadai susah ditemukan. Untuk bertahan dalam kondisi yang serba sulit seperti itu, para pekerja pendidikan terpaksa mengkomersialisasikan semua atribut yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Biaya tinggi di bidang pendidikan menjadi tidak terelakkan. Drop out dari sekolah-sekolah membengkak. Ujung-ujungnya, sumberdaya manusia kita rata-rata berkualitas pembantu rumah tangga. Dan akibat selanjutnya (semacam lingkaran setan), yakni kian banyaknya anak-anak usia sekolah yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah, entah karena tidak terakomodasi atau karena tidak sanggup membayar semuanya atau karena tidak mampu lagi mengikuti irama pendidikan yang sangat berliku tersebut.

Kalau masalahnya bukan pada faktor ekonomi, maka hampir bisa dipastikan keterpurukan kita di bidang pendidikan adalah dikarenakan oleh yang satu ini: minimnya perhatian pemerintah dan masyarakat pada bidang pendidikan. Dan kalau kondisi ini kita biarkan terus dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi dengan bangsa ini 20 tahun ke depan.

(Catatan: tidak ada suatu negara, bangsa dan peradaban—termasuk yang sudah tiada—yang bangkit dan menjadi besar bukan karena pendidikan. Ekonomi penting, tetapi sejarah mengajarkan kita bahwa pendidikanlah yang menjadi pondasi semuanya).



SEKOLAH GRATIS BERBASIS IT


Atas dasar pemikiran itulah sehingga kami dari Yayasan “GURU Institute” mencoba peduli, mengambil “sedikit” peran sesuai kesanggupan kami. Dan yang “sedikit” itu pun tergantung kepada dukungan masyarakat (Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara-saudari, dan teman-teman) yang konsen dengan masalah ini.

GURU adalah singkatan dari Guide for hUman Resource Upgrading. Maka peran utama yang kami pilih untuk kami mainkan adalah meng-upgrade sumberdaya manusia anak-anak bangsa yang luar biasa potensialnya melalui pendirian dan pengelolaan sekolah-sekolah gratis berbasis IT (Information Teknology) bagi anak-anak yang benar-benar tidak mampu, baik karena kemiskinan atau karena keyatiman. Harapan kami, anak-anak didik yang belajar di sekolah tersebut sedini mungkin memiliki kesadaran teknologi informasi—yang menyebabkan dunia beserta negara-negara berikut person-person yang ada di dalamnya tidak berbatas satu sama lain—sehingga yang bersangkutan kelak menjadi genarasi bangsa yang pluralistik, egaliter, visioner dan futuristik. Tentu saja dengan tetap meperhatikan kebutuhan psikologis dan sosiologis peserta didik.

IT di sini bukan dimaksudkan sebagai semacam kekhususan atau spesialisasi. Melainkan sebagai basis bagi seluruh mata pelajaran yang diajarkan. Agar terjadi proses penanaman kesadaran bahwa teknologi informasi telah menjadi ralitas kehidupan manusia; dan bahwa IT telah mengintegrasikan seluruh aktivitas keseharian manusia, mulai dari kantor perusahaan, ruang praktek dokter, sampai ke dapur ibu-ibu. Dan dengan begitu, mereka nantinya tidak merasa gamang—bahkan sebaliknya sangat akrab—dengan perkembangan teknologi informasi beserta kandungan informasi yang menyertainya, yang terjadi secara revolusioner.

Untuk menggapai harapan dan idelisme itu setidaknya ada 5 (lima) komponen utama yang menjadi pendukung utama:

1. Manajemen sekolah yang profesional

2. Sistem pendidikan yang baik

3. Guru yang berkualitas

4. Perpustakaan yang memadai

5. Laboratorium komputer yang representatif

Sebagai langkah awal, kami akan membuka tingkat SD (Sekolah Dasar) di sekitar tempat-tempat yang kami anggap mines secara ekonomi. Dengan asumsi, tempat-tempat tersebut sekaligus kelak menjadi wilayah comunity development (desa binaan) bagi yayasan GURU Institute. Dengan demikian ada tiga target yang bisa tercapai sekaligus: 1) mendidi anak-anak mereka; 2) membina masyarakat sekitar; dan tentu secara otomatis 3) mengeliminasi tindak kriminalitas yang umumnya bersumber dari tempat-tempat seperti itu.



PEMBIAYAAN

Apakah gagasan seperti itu tidak terlalu muluk? Terutama jika ditilik dari sisi pembiayaan? Muluk atau tidaknya sebuah gagasan sangat tergantung pada ada atau tidaknya driving force (tenaga pendorong) berupa: semangan yang berkobar dan konsisten; dan partisipasi banyak pihak terutama peran serta masyarakat. Tengoklah ke sekitar kita; terlalu banyak hasil temuan ilmu pengetahuan yang sudah begitu akrab dengan kehidupan keseharian kita yang sebelumnya dianggak tidak mungkin bahkan—oleh orang awam—dianggap mustahil. Dan itu semua bisa terwujud berkat semangat yang berkobar dan konsisten dari para penemunya.

Sekolah gratis, kami kira, jauh lebih sederhana ketimbang temuan-temuan ilmu pengetahuan tersebut. Intinya adalah perhatian masyarakat pada pendidikan dan keinginin yang kuat untuk mencari solusi kongkrit atas problem sosial yang sedang kita hadapai bersama. Sebagai warga bangsa dan atau umat beragama, perhatian seperti itu tidak selayaknya dipertanyakan.

Ambil contoh. Kalau ada 1000 (seribu) saja orang yang mengeluarkan hartanya sebesar Rp 500.000,00 per tahun atau Rp 45.000,00 per bulan untuk kepentingan edukasi masyarakat ini maka secara otomatis setiap tahun terkumpul dana sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dana pendidikan. Sebuah jumlah yang cukup signifikan untuk pengelolaan sekolah dasar. Bagi umat beragama (dalam contoh ini Islam), kalau jumlah itu kurang dari atau sama dengan 2,5 (dua koma lima) persen dari nilai pendapatan pertahaunnya, maka uang itu memang merupakan milik mereka yang nasibnya kebetulan kurang beruntung alias fakir miskin. Sehingga yang kita keluarkan bukanlah milik kita tetapi memang milik orang lain yang kebetulan ikut serta dalam harta kita.

Semakin banyak pihak yang terlibat semakin besar nilai tersebut. Dan semakin banyak pula sekolah gratis yang bisa terbangun.

Berdasarkan teori ketatanegaraan, yang paling bertanggungjawab mengatasi soal ini adalah pemerintah. Alasannya, selain telah menjadi amanat konstitusi, juga menjadi bagian dari kontrak sosial antara takyat dan para pemimpin negaranya di setiap pelaksanaan pemilu. Salah satu harapan terbesar masyarakat saat berbondong-bondong mendatangi tempat-tempat pemungutan suara adalah soal pendidikan ini; yaitu agar anak-anak mereka bisa mendapatkan pendidikan yang memadai.

Sayangnya, harapan ini masih jauh panggang dari api dengan dua alasan pokok. Pertama, perhatian pemerintah selama ini terhadap bidang pendidikan terbilang masih sangat rendah. Kedua, seandainya pun perhatian pemerintah cukup signifikan, niscaya soal keuangan negara akan menjadi kendala yang tak mudah diatasi mengingat keadaan ekonomi negara yang masih terpuruk.

Maka, kelihatannya, tidak ada jalan lain kecuali kitalah warga masyarakat dan umat yang harus ikut ambil bagian dalam memikul beban sosial ini. Sebagai umat beragama hal ini pasti tidak sulit kita fahami dengan dua alasan. Pertama, setiap amal sosial yang kita lakukan dengan sendirinya akan menjadi terapi psikologis, obat penyembuh penyakit-penyakit hati. Kedua, setiap amal yang kita lakukan akan menjadi bekal kehidupan kita di alam sana, alam akhirat.

Dengan begitu, tidak ada satu pun dan sekecil apapun amal yang kita lakukan yang sia-sia belaka.



JENIS DONASI

Yayasan menerima semua bentuk bantuan seumpama zakat, infak, sedekah, hibah, dan jenis sumbangan lainnya—perorangan atau lembaga—selama sifatnya tidak mengikat dan tidak menyebabkan Yayasan berafiliasi.

“GURU Institute” adalah yayasan yang terbuka, nonsektarian dan nonpartisan.



AKUNTABILITAS

Sebagai pertanggungjawaban Yayasan “GURU Institute” terhadap sekecil apapun peran serta masyarakat yang terlibat di dalamnya, maka Yayasan paling tidak akan melakukan dua hal: Pertama, membuat laporan cash-flow yang akan dimuat dalam Buletin Dwimingguan yang diterbitkan Yayasan yang diedarkan secara cuma-cuma di tempat-tempat umum (misal di masjid-masjid) dan dikirim ke para partisipan yang berkeinginan untuk itu dengan menyertakan alamat lengkapnya.

Kedua, mengaudit aktifitas keuangan Yayasan oleh Akuntan Publik secara berkala, atau sesuai kebutuhan, atau sesuai permintaan pihak-pihak yang berkepentingan.

Untuk menerapkan asas pengelolaan Yayasan yang bersifat transparan dan terbuka secara optimal, maka Yayasan akan sangat berterima kasih dan berlapang dada jika ada pihak-pihak yang kapabel untuk memberikan masukan.



IKHTISAR GAGASAN

Filosofi

Mengedukasi dan melatih peserta didik melalui pendekatan religious yang berbasis IT untuk memiliki life skill dan pengetahuan leadership (teoretis dan praktis) dalam pengertiannya yang luas.



Tujuan

● Memberikan solusi kongkrit bagi masyarakat, khususnya penanganan pendidikan bermutu untuk masyarakat yang benar-benar tidak mampu.

● Mengembangkan sistem pendidikan alternatif yang dapat menjadi contoh dan model dalam pengembangan pendidikan nasional (national education deployment)

● Membina dan mengembangkan sumberdaya manusia berkualitas yang berasal dari kalangan fakir miskin atau mustad’afin.



Kontribusi

● Mengurangi dan memerangi angka putus sekolah—terutama pendidikan dasar—melalui lembaga pendidikan alternatif standar dan bermutu.

● Menjadi mitra pemerintah, khususnya dalam hal pengembangan sistem pendidikan alternatif yang sesuai dengan perkembangan dan perubahan sosial yang terjadi.

● Mempercepat akses dan utilisasi teknologi informasi di kalangan masyarakat tidak mampu yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan tingkat produktivitas bangsa dalam era informasi.



Sistem

● Konsep dan aplikasi menggunakan teori dan temuan-temuan mutakhir di bidang psikologi dan manajemen pendidikan dengan mengadaptasi sumber dan konteks sosial di mana sekolah didirikan.

● Menggunakan dan mengoptimalkan kemampuan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pendidikan, baik menyangkut administrasi, proses pembelajaran, maupun hubungan kemasyarakatan.

● Mrenanamkan nilai-nilai keagamaan kepada peserta didik melaui seluruh aktivitas penyelenggaraan pendidikan yang tercermin dalam kurikulum, manajemen, dan visi pengembangan.

● Mengadopsi pola penyelenggaraan pendidikan ala pemerintah untuk keperluan akreditasi tanpa mengurangi kreativitas dalam inovasi dan pengembangan sistem.

● Sistem dikelola dan ditangani oleh tenaga profesional pendidikan (dengan latar belakangan pengetahuan dan pengalaman di bidang pendidikan, psikologi, teknologi, dan manajemen).

Karakteristik

● Gratis bagi masyarakat yang “benar-benar” tidak mampu (yang terutama bermukim di sekitar sekolah).

● Penggunaan teknologi informasi dan penanaman nilai-nilai keagamaan sebagai kompetensi utama.

● Menyiapkan peserta didik sebagai pembelajar seumur hidup (long life learner).



Strategi

● Dimulai dengan satu unit percontohan untuk kemudian dikembangkan di tempat-tempat lain dengan memperhatikan visi dan standar mutu yang telah ditetapkan.

● Ditetapkan sebagai lembaga yang bersifat cost center sehingga tidak mudah terjebak ke dalam komersialisasi pendidikan dan tetap mempertahankan idealisme pendidikan sebagaimana mestinya.

● Seluruh kebutuhan dana penyelenggaraan ditanggung dan diusahakan oleh Yayasan “GURU Institute” yang merupakan aset dan milik masyarakat kapan dan dimana pun.









Lampiran 1:

ANAKMU BUKANLAH ANAKMU:

Sebuah Upaya Membangun Paradigma Baru Pendidikan Anak*

Oleh Muhammad Rusli Malik**



John Locke (1632-1704) bilang, anak yang baru lahir bagaikan kertas putih bersih. Tergantung orang tua dan lingkungannya mau menuliskan apa dan warna apa. Teori ini terkenal sebagai teori ‘tabularasa’. Kederangannya tepat dan mudah difahami. Tapi kalau dipikirkan dalam-dalam, bukankah itu artinya menempatkan anak sebagai ‘korban’ dari orang tua dan lingkungannya? Anak dengan serta-merta kehilangan kebebasannya untuk berkehendak (free will) serta kebebasannya untuk memilih (free choice). Padahal kedua senjata pamungkas inilah yang membedakan manusia dari hewan; yakni bahwa dalam diri manusia ada alat yang luar biasa canggihnya yang memungkinkan kedua senjata tersebut bekerja secara efektif. Alat itu bernama AKAL.

Keabsahan teori ini bisa diuji melalui beberapa poin penting berikut: Pertama, setiap anak seharusnya merupakan foto kopi dari mental, pengetahuan dan pilihan-pilihan orang tuanya. Tapi faktanya—dalam kehidupan sehari-hari—kelihatannya tidak selamanya seperti itu. Banyak anak yang menyimpang dari harapan dan cita-cita orang tuanya. Bahkan hanya kurang lebih 25 persen sarjana yang bekerja sesuai disiplin ilmunya.

Kedua, seandainya pendapat Locke—yang dituangkannya dalam buku “Thoughts on Education” (1693)—benar maka seharusnya kejahatan semakin lama semakin habis. Aatau, paling tidak, secara rata-rata persentasenya kian lama kian menurun. Sebab bukankah tidak ada orang tua yang menghendaki anaknya menjadi amoral dan pelaku kriminal? Tapi kenyataannya, yang terjadi justru sebaliknya. Runtuhnya bangsa-bangsa besar yang pernah menorah sejarah dengan tinta emas menjadi bukti yang tak terbantahkan mengenai kebenran teori itu. Bukankah bangsa-bangsa itu hancur setelah mengalami degradasi moral dan dehumanisasi berkepanjangan.

Ketiga, seharusnya tidak ada nabi yang anak-anaknya menjadi pendurhaka. Karena pasti tidak ada kesangsian sedikitpun tentang kepiawaian para nabi dan rasul tersebut dalam mendidik anak-anaknya. Mereka bahkan piawai dalam mendidik masyarakat. Sebab kemampuan mereka berada di bawah bimbingan langsung Tuhan. Sayangnya, bukti kongkritnya tidak seperti itu. Anak Nabi Nuh amat jauh dari risalah orang tuanya. Begitu juga salah seorang dari anak nabi Adam, yang bahkan tega membunuh saudara kandungnya sendiri. Padahal anak-naka nabi itu pasti menyaksikan bagaimana wahyu turun dan dipraktekkan langsung oleh orang tua mereka. Mereka dibesarkan dalam kentalnya aroma wahyu ilahi.

Sebaliknya, Nabi Ibrahim dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat penyembah berhala. Nabi Muhammad tumbuh dewasa dalam kepungan orang-orang yang siang malam menghambakan diri kepada 360 patung tak bermakna.

Itu dalam sejarah, yang terbilang jauh dari zaman kita. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti lebih akrab lagi dengan kejadian-kejadian seperti itu. Di depan mata kita, ada Feri Afandi, anak tukang becak di sebuah desa yang cukup jauh dari kota Medan, yang karena ketekunan dan kegigihannya berhasil menjuarai AFI (Akademi Fantasi Indosiar) 2004. Itu adalah prestasi yang prestisius yang tak pernah dibayangkan oleh kedua orang tuanya, apalagi mendidiknya kea rah itu. Menurut teori ‘tabularasa’, Feri tidak mungkin menjadi penyanyi seperti itu sebab di keluarganya tak seorang pun yang pernah menjadi penyanyi—bahkan menjadi penyanyi di kamar mandi sekalipun.. Lalu darimanakah dia mendapatkan kemampuan spektakuler itu?



TEORI ‘ASMARA’

Teori John Locke tersebut memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Hanya saja perlu diketahui bahwa pendapatnya itu sesuai dengan aliran filsafat yang dianutnya. Filosof berkebangsaan Inggris ini adalah salah seorang tokoh terkemuka filsafat empirisme. Yaitu jenis filsafat yang percaya sepenuhnya bahwa pengetahuan manusia hanya berasal dari satu sumber saja, yakni alam benda yang masuk melalui panca indra manusia.

Banyak fakta yang bisa kita tunjuk di sekitar kita yang menunjukkan kekeliruan teori ‘tabularasa’ ini. Misalnya, kenapa orang yang tidak pernah sekolah bisa menghitung, bahkan mungkin lebih lancar dari orang sekolahan? Kenapa setiap orang menanyakan ‘sebab’ bila mendengar sebuah berita, walaupun mereka tidak pernah belajar mengenai hukum sebab-akibat? Kenapa semua orang percaya kalau suatu benda tidak mungkin berada di dua tempat yang berbeda pada saat yang sama?

Semua itu menunjukkan bahwa manusia telah membawa dasar-dasar pengetahuan saat lahirnya. Dengan kata lain, mereka tidak lahir dalam keadaan ‘kertas kosong’. Paling tidak, berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tadi, manusia telah membawa tiga hokum sebagai dasar pengetahuan dalam dirinya sejak lahir. Ketiga hukum tersebut ialah: hukum matematis, hukum sebab-akibat, dan hukum nonkontradiktif. Tanpa ketiga hokum ini maka semua pelajaran yang disuguhkan kepada manusia menjadi tidak akan terfahamkan dalam dirinya.

Dengan demikian penjelasan yang paling tepat menerangkan itu semua bukanlah ‘teori tabularasa’ melainkan ‘teori asmara’. Lalu apa yang dimaksud ‘teori asmara’? Asmara hanya akan tercipta kalau ada dua cinta yang saling berbalasan. Asmara tidak akan ada kalau cinta hanya bertepuk sebelah tangan. Pendidikan hanya akan berjalan kalau bertemu factor dasar dan factor ajar. Faktor dasar memuat ketiga hokum bawaan tadi, sementara factor ajar memuat seluruh jenis pengetahuan empiris beserta kurikulum, sistematika dan metodologinya.

Maka kalau ingin mendidik anak dengan baik, baik orang tua maupun guru, mutlak harus memperhatikan ketiga factor dasar tersebut. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berangkat dari eksplorasi dan eksploitasi terhadap ketiga hokum bawaan tadi. Sayangnya, pendidikan kita selama ini baru memperhatikan prinsip matematikanya; itupun dengan metodologi yang memprihatinkan. Dua prinsif lainnya (sebab-akibat dan nonkontradiktif) sama sekali belum tersentuh, terutama pada tingkat pendidikan paling dasar (TK dan SD).

Akibatnya, kualitas pengetahuan yang diperoleh anak didik juga sangat memprihatinkan. Kemampuan kreatif dan kompetitifnya sangat kurang. Luaran pendidikan hanya berkutat pada symbol-simbol legal-formal belaka saja. Yang terkejar hanya kuantitasnya seraya meninggalkan kualitasnya. Model pembelajaran seperti inilah yang pernah dikritik tajam oleh DR. Ivan Illich dalam buku De-schooling Society-nya sebagai hanya melahirkan manusia-manusia yang tak banyak gunanya dalam meningkatkan kualitas masyarakat secara keseluruhan.

Kita di Indonesia tidak sulit memahami maksud Ivan Illich tersebut. Sebab untuk kesekian kalinya kita menjadi Negara terkorup di Asia dengan indeks kepala sembilan (sembilan koma sekian)—yang artinya korupsinya sudah mendekati sempurna. Padahal semua lini tentu diurusi oleh orang-orang yang pernah mengenyam dunia pendidikan. Bahkan, hebatnya lagi, departemen yang paling korup justru Departemen Agama dan Departemen Pendidikan.

Andaikata ketiga hokum bawaan tersebut dieksplorasi dan dieksploitasi dengan baik, niscaya Indonseia tidak sememalukan itu keadaannya. Karena eksplorasi dan eksplotasi ketiga hokum tersebut berdampak langsung pada tiga kecerdasan sekaligus. Prinsip sebab-akibat bermuara pada kecerdasar spiritual; prinsip matematis bermuara pada kecerdasan intelektual; dan prinsip nonkontradiktif bermuara pada kecerdasan emosional.



BAKAT

Setelah memahami hokum-hukum bawaan tadi, tindakan selanjutnya adalah memahami bakat anak-anak. Ini tentu juga bersifat bawaan. Bakat sendiri artinya potensi bawaan. Sejak masa paling dini, orang tua dan guru harus memperhatikan dengan saksama bakat yang melekat pada seorang anak. Ketahuilah, tidak anak yang lahir tanpa membawa bakatnya. Cuma memang ada bakat yang cepat dikenali, ada bakat yang terpendam dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengenalinya.

Bakat bisa dikatakan sebagai kombinasi antara potensi biologis dan potensi psikologis. Itu sebabnya orang akan lebih mudah berhasil mencapai puncak kesuksesan kalau bekerja sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Penjelasannya: orang yang bekerja sesuai bakatnya tidak akan menemukan hambatan psikologis dan biologis dalam melakoni aktivitasnya. Bahkan mereka akan merasa enjoy (senang) menggeluti bidang pekerjaannya, betapapun padatnya waktu pelaksanaan pekerjaan tersebut.

Banyaknya sarjana yang tidak bekerja sesuai dengan disiplin ilmunya bisa diterangkan dengan pendekatan bakat ini. Yaitu bahwa ketika mereka memilih jurusan atau fakultas, mereka sama sekali tidak memperhatikan bakat yang dimilikinya. Mereka, biasanya, hanya termotivasi oleh gengsi dan popularitas jurusan tersebut. Itu karana, selama mereka belajar dari TK, SD, SLTP hingga SLTA—kurang lebih 14 (empatbelas) tahun—pendidikan yang digelutinya tidak berhasil mengenalkannya pada bakat mereka.



JENIS KEJIWAAN

Setelah bakat, pendidikan juga harus membantu peserta didik untuk mengenali dan mengakrabi jenis kejiwaannya. Secara psikologis, manusia dibagi ke dalam tiga jenis kejiwaan: ekstrovert (berorientasi keluar dan terbuka); introvert (berorientasi kedalam dan tertutup); dan ambivert (bersikap netral dan agak terbuka agak tertutup).

Orang yang ekstrovert biasanya cocok memilih profesi-profesi yang berhubungan dengan banyak orang, semisal pengacara, sales, PR (public relation), presenter, anggota legislative, dan semacamnya. Orang yang introvert umumnya tidak mengalami hambatan dalam menggeluti pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan perenungan, kontemplasi, kreativitas tinggi, atau hal-hal yang terkait dengan masalah-masalah spiritual; umpamanya: agamawan, seniman, arsitek, ilmuwan, penulis, dan semacamnya.

Sementara orang yang ambivert bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang berada di antara keduanya, misalnya: dokter, pebisnis, tentara, polisi, birokrat, karyawan, dan semacamnya.

Seringnya seseorang merasa tidak puas dengan pekerjaan yang digelutinya bisa ditemukan akar masalahnya dari sini. Orang yang introvert lalu ditugaskan mempromosikan atau menjajakan sebuah produk, akan menemukan hambatan kejiwaan yang besar. Sebelum ‘berperang’ dengan calon konsumennya, terlebih dahulu harus berperang dengan dirinya sendiri. Begitu juga seseorang yang berjiwa ekstrovert lalu dipaksa bekerja di belakang meja secara rutin, sudah pasti akan merasakan siksaan yang amat berat. Kantor baginya bukanlah tempat yang menyenangkan, melainkan bisa terasa seperti neraka. Kalau toh dipaksakan, hasilnya tidak akan maksimal.



ANAKMU BUKAN ANAKMU

Kalau semuanya sudah berhasil diidentifikasi, tugas orang tua dan guru selanjutnya adalah mengkondisikan dan memfasilitasi tersalurkannya free will dan free choice seorang anak atau peserta didik.

Serahkan semuanya kepada anak-anak. Jangan bebani mereka dengan pilihan-pilihan yang didiktekan oleh guru atau orang tua. Termasuk pilihan yang didiktekan secara tersamar, misalnnya memperlihatkan raut muka tidak senang jika anak memilih pilihan yang bertentangan dengan pilihan guru atau orang tua. Sebab sikap seperti itu membebani mental si anak. Umumnya anak-anak tidak berani mengatakan ‘tidak’ kepada pilihan orang tua atau gurunya.

Agar ketegangan guru/orang tua versus anak tidak terjadi, camkanlah kata-kata Kahlil Ghibran berikut ini: anakmu bukanlah anakmu; kamu bisa memiliki fisiknya tapi kamu tidak bisa memiliki pikirannya.

Menurut Ghibran, guru dan orang tua tidak menuliskan apa dan warna apa pada ‘kertas kosong’ anak, melainkan mengkondisikan dan memfasilitasi anak untuk menuliskan penanya sendiri.***






* Disampaikan pada Seminar Pendidikan Anak yang dilaksanakan oleh SD Cikal Harapan, BSD, Tangerang di German Center, 20 Maret 2004.

** Ketua Umum Yayasan “GURU Institute”, Jakarta.









Lampiran 2:

“CRITICAL PEDAGOGY”*

Oleh : Herry Setiawan**







SEJARAH PEDAGOGY KRITIK

Sebelum memasuki pembahasan utama ada baiknya jika kita menengok sepintas sejarah lahirnya Pedagogi Kritik. Pada awalnya Pedagogy kritik dikenal melalui tokoh-tokoh pendirinya seperti Paulo Freire, yang kemudian dikontekstualisasi oleh beberapa pemikir belakangan seperti Henry Giroux, Michael Apple, Peter Mclaren dan Pierre Bourdieu dengan kecenderungannya pada alur pemikiran postmodernisme.

Pada fase awal, Paulo Freire merumuskan konsep pendidikan gaya bank (education banking concept) yang selama ini terjadi di dunia pendidikan. Bahwa murid hanya diibaratkan sebuah tabungan kosong—atau yang lebih dikenal dengan tabularasa—yang kemudian diisi oleh guru dengan pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari pengalaman (belajar, peny.) guru dan kurikulum yang dibuat oleh pemerintah. Latar belakang sosial, pengalaman dan pengetahuan siswa dinegasikan oleh guru untuk kemudian diisi dengan pengetahuan yang berasal dari kelas, budaya dan tentunya kekuasaan (pemerintah, peny.). oleh karenanya Paulo Freire dengan basic experience dalam realitas dunia pendidikan di Brazil, Freire merekonstruksi pendidikan sebagai alat gerakan sosial untuk pembebasan rakyat dari kebodohan dan tipu daya penguasa.

Pedagogy kritik menganut pandangan-pandangan dari teori-teori dan aliran; Neo-Marxisme, Teori Kritik, Fenomenology, Feminisme, Strukturalisme, post-strukturalisme, yang merupakan anak kandung aliran post-modernisme. Perspektif dari aliran tersebut digunakan dalam membedah fenomena sosial dalam dunia pendidikan; kurikulum dan sistem persekolahan dengan pisau analisis dekonstruktif.



KONSEP-KONSEP PEDAGOGY KRITIK

Sebelum “bersenggama” dengan pedagogy kritik baiknya kita perlu memahami istilah pedagogy. Teoritisi pedagogy kritik Roger L. Simon, mendefinisikan pengertian pedagogy sebagai penggabungan segala aspek praktik pendidikan (isi kurikulum, dan design, strategi dan teknik, waktu dan ruang untuk pemraktikan strategi-strategi dan tehnik-tehnik tersebut dan evaluasi tujuan-tujuan dan metode-metode) di dalam kelas. semua aspek praktik pendidikan ini menata suatu pandangan tentang bagaimana kerja guru dalam suatu konteks institusional yang menspesifikasikan suatu versi khusus tentang pengetahuan apa yang paling bernilai (?), apa makna mengetahui sesuatu (?), dan bagaimana fisik dan sosial kita (?). Singkatnya membahas pedagogi adalah secara bersamaan membahas juga tentang seluk beluk apa yang dikerjakan siswa dan guru secara bersama dan praktik-praktik politik1.

Berangkat dari definisi pedagogy yang lebih kompleks dari sekedar pengajaran ini, tugas utama pendidik dengan kerangka berpikir pedagogi kritik adalah menyingkap peranan-peranan yang dimainkan sekolah dalam kehidupan politik dan kultural pembelajar. Pendidikan tidak bisa direduksi hanya sebatas alat-alat yang berkaitan dengan akademis ansich. Kata pendidikan dalam persekolahan kita sehari-hari acapkali dilawankan dengan kata pengajaran, atau singkatnya mengajar jelas berbeda dengan mendidik.

Mendidik adalah values tranformation (transformasi nilai-nilai). Sedangkan mengajar hanyalah knowledge transfer (transfer pengetahuan).



PEDAGOGY KRITIK DENGAN RELASI KUASA/PENGETAHUAN

Pedagogy kritik selain bercirikan sosiologi pendidikan, Ia juga dilandasi oleh pemikiran Michael Foucault, pemikir Prancis kontemporer yang memperlihatkan hubungan pembentukan antara “kebenaran” (pengetahuan) dengan kekuasaan. Menurut pemikir post-modernis ini wacana (discours) jangan hanya dipahami sebagai sekumpulan tanda yang mengacu pada konsep tetapi sebagai praktik yang membentuk secara sistematik obyek yang dibicarakan “tentu menggunakan tanda-tanda tersebut, tetapi apa yang dilakukannya lebih dari sekedar menggunakan tanda-tanda tersebut untuk menggambarkan sesuatu.... yang lebih dari sekedar itu harus dimunculkan dan harus dideskripsikan”.

Apa yang dapat dilakukan guru dengan pemikiran Foucault? Guru pada praktik kesehariannya harus mempertanyakan pengetahuan apa yang patut untuk dimiliki oleh siswa untuk membuatnya berdaya. Pengetahuan yang diberikan kepada siswa perlu dikaji secara kritis seperti untuk apa saya belajar ini? tidak hanya berpatok atas dasar pengetahuan tersebut “benar”—secara matematis—tetapi yang lebih dimungkinkan apakah pengetahuan itu bercirikan stereotip (anggapan-anggapan, peny.)? bias gender? Mengandung kapital budaya (cultur contruct, peny.) siapa? Singkatnya pengetahuan atau tindakan yang direalisasikan baik guru maupun siswa harus bertujuan untuk menghilangkan penindasan, ketidaksetaraan, dan melahirkan keadilan, dan kebebasan.



PEDAGOGY KRITIK DAN HIDDEN CURRICULLUM

Di sisi lain pengetahuan yang diberikan di sekolah dapat dilihat dari pembentukan obyektif dalam praktik pengajaran. Apakah ada perbedaan antara pengetahuan yang diberikan kepada sekolah dengan murid dari kalangan elit dengan sekolah kelas proletar? Penelitian Jean Anyon memperlihatkan bahwa konsep otoritas, kerja, kepemilikian dan aturan disajikan melalui kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Ia meneliti empat sekolah yang masing-masing berbeda latar belakang sosialnya. (dua sekolah untuk anak kelas pekerja, satu sekolah berpopulasi anak-anak dari kelas menengah, satu sekolah berpopulasi anak-anak executive elite) untuk melihat bagaimana kurikulum tersembunyi bekerja. Sebagai contoh, perhatikan catatan observasi Anyon di sekolah berpopulasi anak pekerja. ;

She said, “take your ruler? Put it across the top. Make a mark at every number. Then move your ruler down to the bottom,.... At this point a girl said she had faster way to do it and teacher said, “no you don’t: you don’t even know what I’m making yet. Do it this way, or it’s wrong.

Catatan ini melukiskan apa yang diharapkan dari anak adalah bekerja secara mekanik dan patuh, sehingga anak mempunyai kesempatan sedikit untuk mengambil keputusan. Menurut Anyon cara mengajar yang mekanik ini diaplikasikan oleh guru dalam seluruh mata pelajaran di sekolah yang berpopulasi anak pekerja. Sebagai contoh peneliti dengan perspektif marxis ini memperlihatkan bahwa dalam pengajaran bahasa, guru mengajar tanda baca secara mekanik aturan-aturan penggunaan tanda baca. Artinya perubahan aturan tidak pernah dijelaskan guru.

Dalam sekolah yang berisi anak-anak dari kelas executive elite aturan otoritas dan kebersihan diwujudkan secara berbeda dengan apa yang dilakukan di sekolah anak pekerja. Sebagai contoh, dalam pengajaran bahasa yang ditekankan oleh guru adalah menulis kreatif. Prinsip-prinsip tanda baca diajarkan, tetapi siswa belajar bahwa penempatan tanda baca tergantung makna yang ingin dikomunikasikan.

Penelitian Anyon membuktikan tentang kurikulum tersembunyi bahwa sekolah baik kurikulum atau program pendidikan tidak pernah bebas dari ideologi, dan politik atau bebas nilai. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa konsep-konsep bekerja seperti, otoritas, aturan, diajarkan secara berbeda dari satu sekolah ke sekolah lainnya dan memiliki korelasi latar belakang sosial.



HEGEMONI

Penelitian diatas memperlihatkan kepada kita adanya budaya dominan yang ditekankan di suatu persekolahan, bahkan dapat dikatakan adanya pemeliharaan dominasi. Berbicara dominasi, pedagogy kritik mengaitkan konsep hegemoni dengan pendidikan. Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai “sekumpulan fungsi pendominasian, pendidikan, dan pengarahan yang dilakukan suatu kelas sosial yang dominan selama periode tertentu terhadap suatu kelas sosial lainnya, bahkan sejumlah kelas sosial lainnya.

Bagaimana hegemoni berlangsung dalam dunia pendidikan yang bernama sekolah? Menurut Henry Giroux, hegemoni masuk mengakar melalui teks-teks sekolah, film, dan wacana guru. Sebagai contoh; di dalam buku-buku sekolah sering kita dapatkan bahwa bapak bekerja dikantor, ibu belanja ke Mall, aksen. Dalam konteks wacana guru yang menghegemoni, kacamata fenomenology khususnya kaum new sosiologis cukup jelas melihat realitas tersebut. bahwa kebanyakan guru saat ini melihat pengetahuan sebagai sesuatu yang tetap (fixed) dari pada relative dan beberapa pengetahuan lebih superior dibanding yang lainnya. (orang yang pintar matematika lebih hebat daripada ilmu sosial).

Salah seorang peneliti menunjukkan sebuah videotape pelajaran di sekolah ketika guru bertanya kepada siswa tentang mana pemahaman yang benar. Siswa ditanya gambar sebuah garis tengah dan sebuah segitiga dibawah garis; kemudian murid ditanya “dimana letak segitiga?” jawaban yang benar adalah segitiga ada dibawah garis. Jawaban ini menunjukkan pemahaman siswa. Jawaban seperti diatas kertas, bahkan dibawah garis divonis salah. Ini merefleksikan pemikiran guru. Bahwa anak tidak memahami tata letak yang benar dan tidak memahami jawaban dengan kalimat yang lengkap2.

Hegemoni juga terjadi dilihat dari sisi false consciousness yang digunakan Marxis dalam menjelaskan bagaimana hal ini bisa terjadi. Ketika kelas dominan (the roling class) berhasil membangun cara berpikirnya pada sebagian kelas bawah ini dapat dikatakan hegemoni telah dibangun di kelas bawah. Sekolah selama ini telah menjadi agen dari kelas pengatur yang menyebarkan pengetahuan dari kelas pengatur untuk memelihara dominasi yang telah berlangsung dan tentu saja demi kepentingan kelas pengatur.

Dibentuknya sekolah menengah kejuruan untuk mensuplai tenaga kerja yang bekerja di perusahaan-perusahaan milik kelas atas tentunya demi kepentingan agar kinerja perusahaan tidak kekurangan tenaga kerja yang menghidupkan produktivitas perusahaan. Sedangkan kelas atas tidak akan pernah menjadi pekerja melainkan selalu menjadi pemilik modal yang berkuasa.



KESIMPULAN

Apa yang bisa ditarik dari pemaparan ini, pertama bahwa sekolah bukanlah sebuah ruang yang netral, tanpa ideologi dan kepentingan dari kelompok sosial tertentu. Kedua, sekolah harus berpihak kepada kaum yang dilemahkan, kaum tertindas yang tidak diuntungkan. Ketiga sekolah harus dijadikan sebagai sarana pembebasan sosial demi terwujudnya masyarakat berkeadilan sosial.






* Disampaikan di forum LK II HMI Cab. Bogor, Sabtu, 31 january 2004

** Ketua Bidang Pendidikan Yayasan “GURU Institute”


1 Jimmi Ph. PAAT, Lody F. PAAT, mari mengenal pedagogy kritik, disampaikan untuk Lokalatih Guru-Guru Sekolah Dasar se Wilayah Kec. Pakem dengan tema “oeran dan posisi sekolah dalam pendidikan,lingkungan dan pendidikan lingkungan“ 5 Juli 2001, demikian hanya untuk kalangan terbatas.

2 George F.Kneller, Movement Thought In Modern Education, University of California, Los Angeles, 1984, h 58

Tips Mulai Ngeblog (1): Fase Latihan

Setiap orang bisa punya kiatnya sendiri dalam menciptakan content saat mulai ngeblog.

Menurut saya, setidaknya ada empat tips yang layak dicoba sebagai fase latihan:

  1. Pilih Topik yang Disenangi. Tulislah content yang Anda senangi dan bisa Anda tulis segera. Jika saat menulis sebuah posting Anda merasa tidak menemukan kendala berarti alias lancar-lancar saja, berarti itulah topik yang pas buat Anda.
  2. Mencari Sumber Tulisan. Jika belum ada ide untuk menulis posting-posting berikutnya, Anda bisa bertandang ke blog lain alias blog-walking. Atau menyambangi situs-situs lain seperti situs berita. Jika Anda menemukan posting menarik, pasang link tersebut di blog Anda, dan bubuhi komentar atau kesimpulan dari Anda. Link yang menarik tetap berharga bagi pembaca blog Anda.
  3. Menulislah dengan Alami. Jangan terlalu memusingkan gaya penulisan. Biarkan tulisan Anda mengalir. Menulislah seolah-olah Anda sedang bercerita dengan teman Anda.
  4. Cobalah berdisiplin. Silahkan tetapkan dalam hati, kapan saja Anda akan ngeblog. Dua kali seminggu atau sekali seminggu, terserah. Tetapi jangan sekali sebulan atau sekali dua bulan; rasa malas tidak akan mengasah kemampuan Anda dalam menulis. Semakin rajin Anda ngeblog, semakin besar kemungkinan kemampuan menulis Anda semakin terasah.

Tips Mulai Ngeblog (2): Mulai Fokus

Setelah melewati fase latihan, jika memang ingin serius ngeblog, kini saatnya untuk mulai fokus. Lebih fokus dari awal dan mempertimbangkan segala sesuatunya akan membuat pencapaian Anda dalam ngeblog lebih efektif dan efisien.

Bagaimana caranya?

  1. Pilihlah topik yang spesifik atau niche. Jika pemilihan ranahnya “semakin sempit dan tajam, semakin baik”. Jangan memilih topik soal musik secara umum, tetapi pilihlah –misalnya– tentang musik jazz atau indie. Jangan tulis soal mobil, tetapi tulislah soal Volkwagen.
  2. Tongkrongi sumber-sumbernya. Jika Anda sudah punya topik yang spesifik, sekarang Anda tinggal menongkrongi sumber-sumbernya: browsing dan blog-walking menjadi situs dan blog yang terkait dengan topik tersebut, lalu mem-bookmark-nya. Untuk situs-situs yang benar-benar bagus dan relevan dengan topik Anda, sebaiknya masukkan ke blogroll.
  3. Menulis dengan ringkas dan jelas. Sebagaimana tipikal tulisan atau posting di blog, Anda tak perlu menulis terlalu berpanjang-lebar. Tulislah dengan ringkas dan jelas, yang penting informatif. Orang tidak punya banyak waktu jika posting Anda sepanjang dan sedalam tulisan di jurnal ilmiah.(Kecuali untuk kasus tertentu, satu-dua posting Anda boleh saja agak panjang).
  4. Variasi tulisan. Jangan hanya menulis posting berupa analisis dan ulasan saja, tetapi sesekali juga tentang profil tokoh, kejadian, atau hal-hal yang ringan — yang penting masih berkisar dalam topik spesifik yang Anda tongkrongi.

Tips Mulai Ngeblog (3): Konsisten

Setelah membuat blog dengan topik yang niche atau spesifik, kini saatnya untuk mencoba kiat berikutnya: konsisten dengan topik dan frekuensi posting.

  • Konsisten dengan topik: Jika Anda sudah menemukan topik yang spesifik buat ngeblog, berusahalah untuk tetap konsisten untuk ngeblog dengan topik tersebut. Jika, dalam prosesnya, Anda punya ide baru lagi, jangan dicampuradukkan dengan blog yang sudah ada, tetapi buatlah blog yang baru.
  • Konsisten dengan frekuensi posting: Nah, ini yang paling berat –tetapi paling penting dan strategis dalam mengelola blog. Temukan waktu yang tepat buat Anda buat posting: satu kali dua hari, satu kali tiga haru, atau sekali seminggu? Terserah, tergantung ketersediaan waktu Anda.
  • sumber: thegadgednet.com